Harus memutar Otak: THR Warung Sembako

PEMRED : Iyan Kusyandi

11 Mei 2021, 11:19:29 WIB

Harus memutar Otak: THR Warung Sembako

TANGERANG - kabarbantensatu.com

Keuntung tidak seberapa, pemilik warung sembako harus memutar otaknya untuk menyiapkan THR menjelang lebaran, karena setiap tahunnya ada saja yang menagih. Bukan hutang, tapi ada semacam tagihan THR. Apabila tidak dipenuhi, pelanggan akan pindah kewarung lain. Bahkan menjadi obrolan, saat berbelanja, “di warung si anu mah pelit, gak ngasih THR lebaran”.

Entah seperti apa asal-muasal adanya THR di warung sembako. Bisa jadi ini bagian dari strategi memikat pelanggan, agar setelah lebaran tidak pindah kelain hati (warung lain). Layaknya pabrik yang mempekerjakan sejumlah karyawan, warung sembako pun ikut bergaya demikian. Seolah industrialisasi mengontaminasi masyarakat, bahkan pemilik warung sembako harus mencari pinjaman untuk sekedar memberikan THR lebaran.

Demi THR di warung sembako, pembeli dadakan pun berbelanja tidak biasanya. Si peninggal hutang sekalipun, minta jatah THR. Padahal hari-harinya ngutang, untuk berbelanja tunai malah pindah di warung lain. Miris mendengar curhatan sipemilik warung sembako, karena ditagih layaknya punya hutang THR oleh pelangganya. Untuk pelanggan yang loyal, tidak ada basa-basi, karena pemilik warung jauh lebih paham.

Bi mana THR?.., Mang mana THR?.., Pak Haji mana kue lebaran, aya meureun?.. Nah, itulah beberapa cuplikan kata-kata yang singkat tapi mengganggu kejiwaan. Jika belum dikeluarkan THRnya, bisa mimpi buruk terus. Sampai-sampai was-was jika ketemu pelanggan dadakan yang datang, diksinya hampir sama “mana THR?”.

Pemilik warung kadang perlu menambah cadangan modalnya, karena ada saja pembeli yang berhutang. Tapi sayangnya, kebaikan ini tidak berbanding lurus. Setelah lebaran ya kumat lagi, berhutang di warung A, tapi belanja tunai di warung B. Gejala sosial semacam ini menghampiri warung kecil diperkampungan. Dengan modal pas-pasan, tapi harus menanggung THR besar-besaran, ya tidak sangguplah, keluh pedagangnya.

Sepengalaman berdagang, si pemilik ritel modern malah tidak pernah dipusingkan dengan THR oleh pembelinya. Mereka pun tidak berani meminta THR. Walaupun sipembeli tadi berbelanja dalam jutaan rupiah dan membayarnya secara cash, tidak pernah berniat untuk minta THR kepada pemilik ritel modern. Fenomena ini sudah lama, apa sebenarnya yang menyebabkan demikian?

Sudah jelas-jelas belanja di warung sembako bisa membayar dengan tempoe doeloe (ngutang), kadang ditawar dengan sadis, dan harus bayar THR pula lagi. Tidak baik dimananya coba? Nah, inilah kesadaran yang perlu kita bangun untuk mendukung ekonomi disekitar kita agar bisa tumbuh, tidak justru dibebani dengan tuntutan THR.  

Dengan berbelanja di warung sembako tetangga, minimal keuntungannya bisa dimakan untuk anak dan keluarganya, syukur-syukur dapat menjadi modal untuk biaya sekolah anaknya. Sebenarnya THR dari warung sembako itu tidak haram, sah saja, jika mampu. Namun, jika dipaksakan justru akan menjadi masalah. Apalagi harus membokar uang dalam celengan.

Bagi pemilik warung sembako besar pasti mampu memberikan THR lebaran, namun bagi pemilik warung kecil belum tentu. Bisa atau tidaknya memberi THR lebaran, tidak bisa dipaksakan. Keunggulan jika berbelanja di warung sembako, selalu saja memberikan kesempatan untuk berhutang. Karena konsep bisnis yang ingin dibangunnya adalah saling tolong menolong.  

Jangan lupa, yang masih punya THR, tetap belanja di warung sembako terdekat. Dengan begitu berarti kita dapat membantu ekonomi keluarganya. Jika ekonomi mereka membaik, kesempatan berbagi akan tetap ada.

Selamat berlebaran, semoga tahun depan menjadi lebih baik.

 

Hamdani
Dosen UMT/Peneliti Koperasi dan UKM